Sunday, January 27, 2013

Wow..... posting terakhirku sebelum ini adalah tanggal 25 Mei 2009??
Itu berarti sudah hampir tiga tahun!!!
Hhmmm, apa saja yang membuatku sibuk selama itu ya....?

Thursday, February 26, 2009

0 - 1. . . .

With just eight minutes remaining of the Champions League first leg clash in the Spanish capital, Benayoun rose unmarked inside the area to head home an unstoppable goal following a brilliant free kick delivery from Fabio Aurelio......

Dengan latar belakang pertandingan terakhir masing-masing tim sebelum bertemu dini hari tadi, dimana Real Madrid dengan gagahnya menghancurkan Real Betis 6 - 1, sementara kami hanya bisa bermain imbang 1 - 1 dengan Manchester City, sebelum pertandingan ini aku hanya berani bermimpi untuk bisa melihat Liverpool menahan imbang Real Madrid. Apalagi dengan belum fitnya kapten Steven Gerrard, aku beberapa kali berkata pada diriku sendiri, "nggak apa-apa lah di Bernabeu imbang, ntar kami menang di Anfield". Sebuah penyangkalan, sebenarnya. Sebuah penyangkalan dari sebuah rasa ketakutan akan menghadapi tim sekelas Real Madrid yang sedang dalam tren yang menanjak (salah satunya dengan menghancurkan Betis 6 - 1 tadi).
Pertandingan dimulai, rasa cemas dan khawatir semakin menyeruak. Nggak ada spirit khas Liverpool diperagakan para pemain. Absennya Steven Gerrard tampaknya membawa dampak yang signifikan. Ditambah lagi dengan adegan Fernando 'el nino' Torres dirawat di pinggir lapangan, dan kembali bermain dengan kaki yang terpincang-pincang.
Sepanjang pertandingan, aku hanya bisa berharap, kalau kami nggak bisa mencetak gol (yang kelihatannya sangat sulit waktu itu), setidaknya jangan sampai Real mencetak gol, sehingga 'skenario prediksi'ku dapat terlaksana, seri tanpa gol di Madrid, menang 1 - 0 di Anfield.
Hingga sampailah pada menit ke-82 itu,
Real Madrid 0, Liverpool 1
Bring on the second leg and another Anfield night not to be missed.

Sunday, February 22, 2009

gimana jelasinnya ya.....???

dulu aku udah mikir, susah ya belajar sesuatu agar kita jadi mengerti
ternyata ada yang lebih susah,
ngajarin orang lain agar jadi ngerti juga seperti kita...

wheew.............
*taking a deep breath*

wish me luck for this tutoring thing

Monday, February 2, 2009

cemburu atau jatuh cinta ?

Mana yang lebih bisa membuat orang bertindak dan melakukan sesuatu yang diluar pemikiran logika dan akal sehat ?
orang yang sedang jatuh cinta ?
atau
orang yang sedang cemburu ?
dulu, aku pernah membuktikan bahwa orang yang sedang jatuh cinta rela melakukan apa saja demi cinta yang diperjuangkannya, seseorang bisa bertahan di bawah guyuran gerimis selama tiga jam hanya untuk menunggu untuk bisa melihat orang yang dicintainya, seseorang bisa mengabaikan omongan orang-orang di sekitarnya, bahkan sahabat-sahabatnya, demi membela orang yang dicintainya, dan tentu saja cintanya. Dan banyak sekali tindakan-tindakan nggak masuk akal lainnya hanya demi memperjuangkan sebentuk cinta.
sekarang,
aku juga tahu ternyata orang yang sedang cemburu juga bisa melakukan hal-hal yang (menurutku) nggak masuk akal. Dia bisa tiba-tiba cemburu sama sahabat pasangannya. Okelah kalo misalnya mereka sering jalan bareng berdua, atau misalnya si pencemburu nggak kenal sama sahabat pasangannya yang dicemburuinya itu.
Tapi ini nggak,
Sahabat pasangannya itu juga sahabatnya, bahkan sahabat lebih dekat malah. Otomatis dia udah tahu kan hubungan persahabatan antara pasangannya sama si sahabatnya itu (yang notabene juga sahabatnya)
Terus, cemburunya juga bukan karena pasangannya sering jalan berdua sama sahabatnya itu. In fact, mereka berada di dua tempat berbeda yang terpisah ribuan mil jauhnya. Cemburunya cuma sama komputer ! Dia cemburu karena pasangannya chating sama sahabatnya itu.

Tapi aku juga nggak tahu sih, hal itu berlebihan atau memang wajar ya ?

Thursday, January 15, 2009

We Will Not Go Down by Michael Heart

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Sunday, January 4, 2009

Sebuah kematian (lagi), untuk memanggilku pulang....

Beberapa hari yang lalu, aku sempat terpikir untuk memposting tulisan yang intinya mempertanyakan pada diriku sendiri, apakah perlu sebuah kematian lagi untuk memanggilku pulang secara rutin.
Pertanyaan itu tercetus dalam pikiranku, karena dalam jangka waktu kurang dari sebulan sebelum pertanyaan itu muncul, tiga orang di keluarga besarku dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.
Hari Rabu, 17 Desember, sebelum subuh, sebuah sms masuk mengabarkan bahwa salah seorang pakdeku meninggal dunia. Aku berangkat ke rumah duka setelah mampir sebentar di kantor minta izin ke rekan kantor.
Minggu, tanggal 21 Desember, aku menghadiri pernikahan rekan sekantorku. Tepat setelah aku menyalami kedua mempelai, sebuah sms masuk. Sebuah kabar duka lagi, kali ini labih mengejutkan. Salah seorang bulek-ku yang berusia relatif masih muda (sehingga aku memanggilnya 'mbak') mengalami kecelakaan. Sepeda motor yang dikendarai bersama ibunya terserempet sebuah truk. Bulek-ku akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku dan istriku pun langsung berangkat ke Mojokerto setelah sedikit berbincang-bincang dengan beberapa rekan sekantor yang ketemu di acara.
Hari Minggu juga, tepat sepekan kemudian, 28 Desember, lagi-lagi sebuah sms dini hari masuk, dan lagi-lagi mengabarkan sebuah berita duka. Kali ini nenekku (adiknya kakekku tepatnya) meninggal dunia. Kali ini aku dan istriku bisa berangkat pulang ke Malang pagi-pagi untuk mengejar pemakaman beliau.
Tiga berita duka dalam waktu kurang dari dua minggu.
Aku mulai berpikir, seandainya tidak ada beberapa berita duka tersebut, akankah aku pulang ke malang secara rutin setiap minggu dan bertemu keluargaku ?
Karena waktu-waktu sebelumnya, aku tidak setiap minggu pulang ke malang. Aku pulang ke malang hanya sebulan sekali. Sulit untuk meninggalkan usaha warnet yang baru mulai aku rintis, apalagi di hari minggu biasanya lebih ramai dari hari-hari biasa.
Aku bahkan bertanya pada siriku sendiri, perlukah sebuah kematian lagi untuk memanggilku pulang ke malang secara rutin?
Sabtu kemarin, 2 Januari 2009, pukul 03:31 dini hari, aku terbangun karena suara ringtone handphone-ku, dengan mata masih setengah terpejam aku melihat nama adikku yang paling kecil di layar monokrom itu. Secara naluriah aku langsung merasakan ada sesuatu, rasa kantuk yang masih mendera tiba-tiba saja menguap. Aku menjawab telepon hanya untuk mendapatkan konfirmasi dari perasaan gundahku.
Sebuah berita duka lagi.
Pamanku.
Dan yang membuat berita itu lebih menyedihkan adalah, bahwa pamanku yang meninggal ini adalah suami dari bulekku yang meninggal karena kecelakaan dua minggu lalu. Setelah sholat Subuh aku dan istriku pulang ke malang untuk melayat ke rumah duka.

Terlalu lamakah sebulan sekali untuk pulang?
Atau itu terlalu lama untuk jarak Malang-Pandaan?
Haruskah seminggu sekali aku pulang ke Malang?
dengan meninggalkan warnetku?
well, aku cuma bisa berharap, semoga mereka mengerti.......

Thursday, December 25, 2008

ADA konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil

Kemarin malam, entah kenapa, tanganku yang sudah terjulur hendak menekan tombol power televisi untuk mematikannya, tiba-tiba refleksku memerintahkan tanganku untuk berhenti, dan jadilah aku begadang sampai pagi melihat sebuah film Indonesia berjudul Medley.
Sempat bingung juga mau menempatkan tulisan ini dimana, namun akhirnya aku memutuskan untuk mempostingnya dibawah kategori blog karena beberapa hal, antara lain : film ini bukan film yang baru dirilis, dan karena aku nggak akan membahas atau menilai isi film ini saja, namun juga 'pesan' yang bisa aku tangkap setelah menonton film ini. Oleh karena hal-hal tersebut aku memutuskan untuk menulisnya disini.

Medley adalah sebuah film yang dirilis November 2007 lalu.
Film ini dibintangi antara lain oleh Yossi-nya Project Pop, Rachel Maryam, Alex Komang, dan Ferry Ardiansyah.Film yang disutradarai Franklin Darmadi ini bercerita tentang Aditya (Yossi ‘Project Pop’), seorang laki-laki yang tidak pernah puas akan hidup yang dijalaninya. Dimana kehidupan yang sekarang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakannya dulu. Penyesalan demi penyesalan, setiap keputusan yang dibuatnya di masa lalu berakibat kepada ketidakpuasannya di saat sekarang ini.
Kehidupannya dengan sang istri, Maya (Rachel Maryam) diisi dengan pertikaian. Dimulai dari hal-hal kecil hingga menjadi besar. Ia pun selalu melamun memikirkan jika ia tidak menikahi Maya, mungkin hidupnya menjadi lebih baik.
Keinginannya terkabul.
Secara ajaib dia tiba-tiba ada di sebuah rumah super mewah, dengan seorang istri yang bukan Maya, melainkan mantan pacarnya dulu semasa kuliah bernama Fiona. Semuanya tampak hebat pada awalnya, sampai suatu saat Aditya menyadari bahwa Fiona selingkuh dengan pria lain. Aditya pun kecewa. Dia pun melamun seandainya yang menjadi istrinya bukan Fiona, tetapi Dian pacarnya sewaktu SMA, mungkin dia nggak akan pernah sakit hati karena dikhianati.
Dan keinginannya pun kali ini terkabul.
Dia terbangun di sebuah ruang praktek seorang psikolog sedang konsultasi tentang traumanya menjelang menghadapi pernikahan dengan Dian, seorang bintang film ternama. Kali ini pun, dengan jalan kehidupan lain yang dia inginkan, dia tidak juga menemukan kebahagiaan yang dia cari. Dian, tunangan dan calon istrinya, mengalami apa yang kusebut 'mentality disorder'. Dian terlalu paranoid tentang kririk-kritik yang didapatnya dari media, selalu curiga bahwa Aditya selingkuh, dan bisa saja secara tiba-tiba menangis setelah marah-marah.
Akhirnya Aditya menyadari bahwa kehidupan yang selama ini dilamunkannya tidak selalu lebih baik dari yang selama ini dijalaninya di dunia nyata. Dia akhirnya tahu bahwa Maya, istrinya, adalah yang terbaik untuknya.
Film ini berpesan bahwa kita tidak boleh terlalu menyesali pilihan-pilihan yang telah kita buat. Tidak akan ada gunanya kalau kita terlalu berpikir 'seandainya aku tidak memilih jalan ini, mungkin kehidupanku nggak akan seperti ini'. Setiap kita telah membuat suatu pilihan, kita tidak akan bisa kembali untuk memilih yang lain. Namun kita juga nggak bisa terlalu menyesali pilihan yang telah kita buat, dengan segala konsekuensinya, seandainya pilihan itu tidak sesuai dengan seperti yang kita bayangkan. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita menjalani pilihan yang telah kita buat dengan sebaik-baiknya. Mengupayakan agar pilihan yang telah kita buat adalah pilihan yang terbaik.
Karena banyak sekali pilihan yang harus kita buat dalam kehidupan kita, dan dari setiap pilihan yang kita buat, ada konsekuensi dibalik setiap pilihan itu.